Beranda | Artikel
Pernikahan Penderita Aids
Rabu, 22 Januari 2020

PERNIKAHAN PENDERITA AIDS[1]

Kebebasan  adalah satu kata indah yang banyak disalah fahami banyak orang. Kata “kebebasan” dan “kemerdekaan” disalah artikan dengan kebebasan mutlak, total dan terserah sesuai kemauan nafsu syahwat.

Dari sini, kemudian bermunculan banyak masalah bahkan penyakit, diantaranya HIV atau AIDS.

Jumlah penderita HIV atau AIDS di Tanah Air terus meningkat dan terus menyebar di hampir seluruh kabupaten atau kota di Indonesia. Kenyataan itu tentu amat memprihatinkan dan perlu perhatian.

AIDS adalah AcquierdnImmuno Deficiency Syndrome yang berarti perusakan sistem kekebalan tubuh yang diakibatkan serangan virus HIV (Human Immunodeficiency Virus/ Virus Imunodifisiensi Manusia). Virus ini menyerang manusai dan menyerang sistem kekebalan tubuh sehingga tubuh menjadi lemah dalam melawan infeksi. Seseorang yang terkena atau terinfeksi HIV AIDS sistem kekebalan tubuhnya akan menurun drastis. Virus AIDS menyerang sel darah putih khusus yang disebut dengan T-lymphocytes. Tanda pertama penderita HIV biasanya akan mengalami demam selama 3 sampai 6 minggu tergantung daya tahan tubuh. Setelah kondisi membaik orang yang terinfeksi HIV akan tetap sehat dalam beberapa tahun dan secara perlahan kekebalan tubuhnya akan menurun karena serangan demam yang berulang.

Penularan HIV terjadi melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah dengan cairan tubuh mengandung terinfeksi dan mengandung virus HIV seperti darah, sperma (air mani), cairan vagina, cairan serebropinal dan air susu ibu. Dalam konsentrasi yang lebih kecil, virus juga terdapat pada air mata, air kemih dan air ludah.

Penularan HIV/AIDS dapat melalui :

  1. Hubungan seks antara dua orang yang salah satu dari mereka membawa virus ini, baik yang membawa itu laki-laki atau perempuan dan tidak disyaratkan timbulnya dari pelaku seks menyimpang.
  2. Transfusi darah yang belum steril dari keberadaan virus ini atau plasma atau faktor yang membantu pengerasan darah pada penderita penyakit hemofilia
  3. Tranfalantasi anggota tubuh atau bagian dalam dari penderita AIDS ke orang yang tidak menderita penyakit tersebut, seperti tranfalantasi ginjal, atau kornea mata dan selainnya.
  4. Penggunaan jarum suntik bekas penggunaan penderita AIDS kemudian digunakan oleh orang lain seperti biasa digunakan antara penderita narkoba dengan suntikan.
  5. Penggunaan alat-alat yang telah tercemari cairan kulit atau darah atau cairan tubuh seperti pisau cukur atau sikat gigi atau jarum tato, tindik telinga dan pencukur bulu wajah wanita.
  6. Penularan dari ibu kepada bayinya ketika hamil atau melahirkan atau menyusui[2]

Keenam sarana penularan penyakit AIDS ini, dapat dikelompokkan menjadi tiga cara :

  • Hubungan seksual dengan penderita, dimana selaput lendir mulut, vagina atau rektum berhubungan langsung dengan cairan tubuh yang terkontaminasi.
  • Suntikan atau infus darah yang terkontaminasi. Hal ini sering terjadi pada saat transfusi darah, pemakaian jarum bersama-sama atau tidak sengaja tergores oleh jarum yang terkontaminasi virus HIV.
  • Pemindahan virus dari yang terinfeksi kepada anaknya sebelum atau selama proses kelahiran dan melalui ASI.

HIV tidak ditularkan melalui kontak biasa atau kontak dekat yang tidak bersifat seksual di tempat bekerja, sekolah ataupun dirumah . Belum pernah dilaporkan kasus penularan HIV melalui batuk atau bersin penderita maupun melalui gigitan nyamuk.

Melihat keterangan ahli medis tentang cara menularnya penyakit AIDS ini, sarana penularan terkuat adalah dengan hubungan seksual. Dari sini muncul permasalahan, bagaimana pandangan hukum Islam terhadap pernikahan penderita AIDS?  Bolehkah penderita HIV/AIDS menikah dengan orang yang tak menderita?  Selain itu, bagaimana pula hukum pernikahan antarsesama penderita HIV/AIDS?

Hukum Islam Seputar Pernikahan Penderita AIDS
Ajaran Islam terbangun diatas landasan kuat yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghilangkan kemudharatan. Berdasarkan, semua yang bisa mendatangkan kemudharatan dilarang dalam Islam. Demikian juga pernikahan penderita Aids yang terkait langsung dengan permasalahan kemaslahatan dan kemudharatan.

Pada asalnya diwajibkan untuk melarang penderita Aids menikah, karena hubungan suami istri menjadi sarana paling mudah dalam penyebaran penyakit ini. Penelitian dunia menetapkan bahwa hubungan suami istri adalah sarana penyebaran penyakit ini dengan persentasi 90 % dan kemungkinan terkena penyakit ini dari sekali hubungan suami istri mencapai 50 %.[3]

Oleh sebab itu diwajibkan pada penderita Aids apabila ingin menikah dengan orang yang tidak menderita Aids untuk menjelaskan keadaannya.

Para Ulama mensikapi permasalahan ini merinci pernikahan penderita Aids dalam beberapa permasalahan:

1. Pernikahan sesama penderita Aids
Apabila penderita Aids menikah dengan sesama penderita maka diperbolehkan, karena tidak akan memberikan madharat dan kezhaliman pada mereka, baik yang wanita maupun yang lelaki.

Prof. DR. Umar Sulaiman al-Asyqar dalam makalah beliau berjudul al-Ahkâm asy-Syar’iyah al-Muta’alliqah bi Mardha al-Aids menyatakan bahwa apabila menikahi sesama penderita penyakit ini, maka tidak ada masalah. Karena masing-masing dari pasangan suami istri tersebut menderita penyakit yang sama dengan pasangannya dan masing-masing tidak perlu lagi menyembunyikan penyakit yang dideritanya. Bahkan (seharusnya-red) penderita tersebut berusaha menikah dengan yang sependeritaan; karena tidak ada kezhaliman dan madharat dalam hal itu (bagi keduanya)[4].

2. Pernikahan penderita Aids dengan orang yang sehat
Apabila penderita Aids mau menikahi orang yang sehat dan dia telah menjelaskan keadaannya yang sebenarnya, maka akan ada dua kemungkinan :

  • Orang yang sehat tidak menerima pernikahan ini. Jika demikian keadaannya, maka dia tidak boleh dipaksa dan tidak boleh dinikahkan, sebab pernikahannya haram. Prof. DR. Wahbah az-Zuhaili dalam kitab al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu 7/83 menyatakan, ‘’Apabila laki-laki yang akan kawin yakin bahwa perkawinannya akan menzhalimi dan membahayakan perempuan yang akan dikawininya, maka hukum perkawinannya itu adalah haram.’’
  • Orang yang sehat menerima dan ridha tanpa paksaan menerimanya. Dalam hal ini, ada dua kemungkinan:
    • Pihak yang sehat adalah wanita. Dalam kondisi seperti ini, walinya berhak untuk mencegahnya dan melarangnya dan wanita yang dilarang walinya tidak punya hak mengadu ke pradilan hukum atas larangan walinya tersebut. DR.Umar Sulaiman al-Asyqar menjelaskan hal ini dengan menyatakan, “Syari’at menetapkan bahwa keridhaan wali merupakan syarat sah pernikahan,  sehingga syari’at memberikan hak kepada para wali wanita untuk melarang pernikahan dengan penderita Aids dan wanita tidak bisa menuntut dihadapan pengadilan (dengan mengatakan) bahwa walinya telah melarangnya menikah dengan (alasan yang-red ) tidak benar (al-’adhl), karena pernikahan dalam keadaan seperti ini bukan pernikahan sekufu, sedangkan al-adhl seperti dikatakan Ibnu Qudâmah rahimahullah adalah melarang wanita menikah dengan yang sekufu apabila wanita itu memintanya[5].
    • Pihak yang sehat adalah lelaki. Memang pada asalnya seorang lelaki yang berakal dan baligh tidak ada yang bisa memaksanya untuk menikah atau tidak menikah, berbeda dengan wanita. Seorang pria bisa melaksanakan akad pernikahan dengan kehendak sendiri tidak harus dengan kesepakatan dari kerabat dekatnya dan pengadilan tidak punya hak melarang pernikahan seorang pria. Namun melihat kepada bahayanya penyakit Aids ini dan efek buruknya terhadap kehidupan pribadi dan masyarakat maka perlu dilihat kembali dengan teliti dan mendalam tentang keadaan lelaki tersebut. Sebab seorang yang berakal sehat tidak bisa menerima adanya seorang yang sengaja menikah dengan penderita Aids. Sehingga banyak ahli fikih yang menghukuminya dengan safîh (tidak sempurna akalnya).

Oleh karena itu prof.DR. Umar Sulaiman al-Asyqar berkata,  “Saya sendiri memandang pernikahan seorang yang sehat dengan penderita penyakit berbahaya dan merusak seperti AIDS , al-barash, al-juzdâm lebih pantas di hajr (ditahan) daripada (hajr terhadap-red) safîh (orang yang belum sempurna akalnya) yang tidak diperbolehkan melakukan transaksi apapun dengan hartanya sendiri; karena orang yang tidak sempurna akalnya dalam beraktifitas pada diri dan membinasakan dirinya lebih berbahaya dari orang yang tidak sempurna akalnya dalam beraktifitas dengan hartanya. Maka wajib bagi negara Islam untuk menetapkan undang-undang yang dapat menjaga kehidupan manusia. Diantaranya adalah (undang-undang yang berisi-red) larangan orang sehat menikah dengan penderita AIDS dan penyakit berbahaya yang semisalnya yang menular dan sulit sekali disembuhkan[6].

Hukum Islam Tentang Pembatalan Pernikahan Dari Penderita AIDS
Apabila seorang lelaki menikahi wanita kemudian terbukti salah seorang darinya menderita Aids, apakah yang sehat punya hak untuk  mengajukan kepada pengadilan agar membatalkan pernikahannya dengan alasan penyakit yang diderita pasangannya?

Sebagian orang menganggap masalah ini adalah masalah kontemporer yang belum pernah diputuskan para Ulama ahli fikih terdahulu karena penyakit AIDS baru ditemukan beberapa belas tahun yang lalu. Padahal sebenarnya masalah ini sudah ada dasar dan akarnya sejak dulu kala dalam fikih Islam. Penyakit AIDS walaupun baru ditemukan namun sudah ada yang semisal atau setara dengannya dari penyakit, seperti al-judzâm, al-barash dan gila.

Tentu saja ada yang menyatakan bahwa penyakit AIDS lebih berbahaya dari penyakit lainnya, karena penderitanya akan berujung pada kematian. Anggapan ini bisa dijawab dengan kita menyatakan bahwa penyakit-penyakit lainnya yang telah disebutkan dizaman dahulu adalah penyakit yang sangat-sangat sulit diobati dan kedokteran waktu itu tidak mengetahui sebab dan cara penyembuhannya. Sehingga pembahasan para Ulama terdahulu terhadap penyakit-penyakit tersebut seperti pembahasan kita sekarang terhadap penyakit AIDS.

Setelah merujuk kepada pendapat para Ulama yang panjang lebar seputar aib yang menjadi sebab diperbolehkannya pembatalan pernikahan, dapat disimpulkan bahwa aib yang menyebabkan bolehnya pembatalan pernikahan bisa dikelompokkan menjadi dua kelompok permasalahan yaitu aib yang membuat tidak suka (tanfîr) dan aib yang bisa menimbulkan bahaya dan bisa mendatangkan madharat (ad-dharar).

Prof. DR. Umar Sulaiman al-Asyqar menyatakan, “Apabila kita telah menetapkan kaedah ini, maka penderitaan dengan penyakit AIDS dan kanker serta yang sejenisnya lebih merugikan dan lebih berbahaya dibandingkan dengan penyakit-penyakit yang sudah di tetapkan para Ulama terdahulu sebagai sebab bolehnya menggagalkan pernikahan (faskh). Bahkan banyak dari penyakit-penyakit tersebut –kalau tidak seluruhnya- sekarang sudah menjadi penyakit yang mungkin disembuhkan dan dihilangkan. Sedangkan sebagian penyakit seperti AIDS dan kanker hingga kini, ilmu belum mengantarkan kepada terapi penyembuhan. Padahal negara dan lembaga sosial telah mengeluarkan ratusan juta dolar setiap tahunnya untuk mengungkap cara pengobatannya. Bagaimana seorang ahli fikih bersikukuh berpendapat aib dan penyakit yang mungkin disembuhkan boleh dijadikan dasar pembatalan pernikahan, sementar dia tidak membolehkan pembatalan pernikahan dengan sebab aib yang lebih berbahaya dan lebih merugikan?!![7]

Yang râjih (yang lebih kuat-red) Wallahu a’lam, bolehnya membatalkan pernikahan dengan sebab adanya penyakit AIDS pada salah satu pasangan suami istri.

Para peserta yang mengikuti Nadwah (seminar) “ Ru’yah Islâmiyah Lil Masyaâil al-Ijtima’iyah li Marad AIDS” yang diadakan oleh al-Munazhamah al-Islâmiyah lil ‘Ulûm ath-Thibbiyah al-Kuwaitiyah yang bekerja sama dengan kementrian kesehatan negara Kuwait dan majma’ al-Fiqh al-Islami pada tanggal 6-7 Desember 1993 di kota al-Kuwait memberikan wasiat dan keputusan untuk membolehkan setiap dari pasangan suami istri untuk menggugat cerai pasangannya yang menderita penyakit menular Aids dengan tinjauan penyakit Aids adalah penyakit menular yang salah satu prantara penularannya yaitu melalui hubungan seksual.

Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XVII/1435H/2014M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1]  Diringkas dari Dirasât Fiqhiyah Fi Qadhâyâ Thibbiyah Mu’âsharah dari 1/36-55. Cetakan pertama tahun 2001-1421 H. Penerbit Dar an-Nafaais, Yordania dengan tambahan data tentang penyakit Aids dari beberapa sumber.
[2] Llihat buku Mâdza Yajibu an Ta’rifa ‘anil AIDS, Lajnah al-Wathaniyah Limukafahat Aids, Saudi Arabia hlm 13-14)
[3] Lihat Dirasât Fiqhiyah Fi Qadhâyâ Thibbiyah Mu’âsharah, 1/36.
[4] Lihat Dirasât Fiqhiyah Fi Qadhâyâ Thibbiyah Mu’âsharah, 1/37.
[5] Lihat Dirasât Fiqhiyah Fi Qadhâyâ Thibbiyah Mu’âsharah, 1/37.
[6] Lihat Dirasât Fiqhiyah Fi Qadhâyâ Thibbiyah Mu’âsharah, 1/37.
[7] Lihat Dirasât Fiqhiyah Fi Qadhâyâ Thibbiyah Mu’âsharah, 1/53.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/14152-pernikahan-penderita-aids-2.html